Berbagi “Sup Ayam”

Berbagi “Sup Ayam”

:yons achmad*


"Ribuan lilin dapat dinyalakan dari satu lilin

dan nyalanya tidak akan berkurang.

Begitu pun kebahagiaan tidak akan pernah

berkurang walau dibagi-bagi."


Siddharta Gautama



Sup ayam...Sluuuup...


Saya selalu suka. Sedap dan ringan terasa. Dengan kepulan aroma yang khas ketika disajikan selagi panas. Begitu juga “Sup Ayam”, saya selalu menikmatinya. Apa bedanya? Mungkin sudah ada yang tahu. Sup ayam, dalam tradisi warga Barat sana dihidangkan untuk menghangatkan tubuh dikala musim dingin. Di Indonesia, kurang lebih sama.


Sementara “Sup Ayam” alias Chicken Soup dikenal sebagai karya berseri: kisah-kisah hidup keseharian yang menghangatkan jiwa, memberikan pelajaran, manfaat dan hikmah bagi pembacanya. Bersyukur, saya berkesempatan berbagi tentangnya.


Tepatnya, membawakan sebuah sesi bertema “Kiat Menulis Ala Chicken Soup”. Kali ini, berbagi dengan teman-teman karyawan di PT Citra Marga Nusa Pala, sebuah perusahaan yang bergerak di bidang Jalan Tol. Agak canggung juga sebab peserta pelatihan tersebut kebanyakan bukan anak muda lagi tapi sudah nampak sebagai bapak-bapak/ibu.


Namun, secanggung apapun, acara kudu berjalan mulus agar mereka tak kecewa...


Saya mengawali cerita tentang sejarah “Sup Ayam”


Adalah Jack Canfield: seorang Guru, Pembicara Motivasi dan Penulis Amerika. Pada usianya yang ke-46 mulai menggagas seri karya “Chiken Soup” itu. Sebelum jauh membincangnya, satu pelajaran yang bisa kita ambil bahwa tak ada kata terlambat bagi siapapun untuk berkarya/mempublikasikan karyanya. Hasilnya, kini seri “Sup Ayam” itu telah dibaca jutaan orang di seluruh dunia dan telah diterjemahkan dalam beragam bahasa.


Lalu, dengan lagak sok tahu, saya melanjutkan perbincangan sekelumit tentang “Sup Ayam” ini.


Diantaranya tentang ciri yang melekat dalam karya ini. Saya menyebut sedikitnya tiga hal tentang ciri beserta contohnya. Ciri karya ini adalah mengungkap kisah-kisah yang menyentuh (contoh kisah Anang dan Syahrini), mengharukan (cerita Habibie dengan almarhum istrinya Ainun) atau memberikan semangat (semacam kisah-kisah dalam tayangan seri televisi Kick Andy).


Kemudian, saya sedikit membahas tentang sumber ide cerita. Dimana bisa berasal dari kisah diri kita sendiri, kisah orang lain maupun pengamatan terhadap sekitar atau media massa. Lewat beragam “jalan” itulah sumber ide bisa kita gali, kita temukan. Yaitu sebuah kisah yang paling mengesankan dan mengambil sisi positif atas sebuah kejadian atau peristiwanya.


Setelah itu, bagaimana menuliskannya? Ya menulis saja. Kata saya. Dengan memberikan resep yang entah saya lupa darimana saya mendapatkannya (anonim) tapi manjur. Resepnya adalah “Jangan Pikirkan Apa Yang Akan Kamu Tulis, Tapi Tulislah Apa Yang Ada Dalam Pikiranmu” Ini kata kuncinya.


Karena waktu sempit, bualan saya akhiri lalu mereka praktek menulis. Hasilnya tak terlalu mengecewakan. Rata-rata peserta bisa bercerita ¾ halaman kuarto tulis tangan dalam waktu 15 menit. Tugas berbagi saya selesai.


Sebelum sesi ditutup, tak lupa saya promosi agar mereka mau bergabung dengan komunitas “Sekolah Kehidupan”. Sebuah komunitas, tepatnya sebuah keluarga yang senang berbagi kisah kehidupan masing-masing, kisah tentang kehidupan yang mereka alami, menuliskannya, menceritakannya sehingga mempunyai kemanfaatan bagi orang lain.


Saya provokasi peserta dengan slide-slide foto-foto kegiatan Eska seperti kopi darat, bakti sosial, maupun bagi-bagi kisah lewat milis. Hasilnya, Aha...hampir semua mencatatkan email dan meminta dihubungi kalau ada kegiatan eska khususnya di Jakarta. Begitulah, dengan jalan “Sup Ayam” plus sebuah kisah tentang komunitas “Sekolah Kehidupan”. Kita semua bisa berbagi, bersilaturahmi, dan bagi para bujangan lelaki (diam-diam) sebagai ruang untuk mencari istri...ups kelepasan :-p. []


*Penulis lepas, tinggal di Jakarta

1 Response to "Berbagi “Sup Ayam”"

Yohan Wibisono mengatakan...

"Nice artikel, inspiring ditunggu artikel - artikel selanjutnya, sukses selalu, Tuhan memberkati anda, Trim's :)"