Dewi “Dee” Lestari Buka-Bukaan !!!
:yons achmad*
Pernah membaca karya Dewi “Dee” Lestari? Saya membaca beberapa karyanya. Dan saya merasakan memang ada pesona tersendiri. Dee selalu menawarkan sisi lain dari sebuah dunia, dia kemas dalam karya sastra yang saya kira cukup elok. Tak heran karya-karya sastranya digemari banyak orang, bukunya meledak menjadi best seller.
Saya penasaran apa sebenernya rahasianya? Lalu saya melakukan riset kecil-kecilan mendalami proses kreatif kepenulisan Dee. Membaca karya-karyanya, menekuni note (catatan-catatan) lewat blog atau situs jejaring sosialnya, maupun hasil wawancaranya di berbagai media. Dan, memang sosok Dee dan karyanya menarik untuk diketahui publik. Terutama tentu bagi mereka yang ingin berkecimpung dalam dunia kepengarangan. Atau setidaknya sebagai pembelajaran dan pencerahan seputar proses kreatif kepenulisan.
Satu pembelajaran terbesar adalah kesabaran...
Saya menangkap rahasia itu. Cita-cita Dee untuk bisa menulis buku ketika Ia berusia 9 tahun. Ingin tahu berapa lama cita-cita itu tercapai? Sangat panjang, perlu waktu 16 tahun sampai buku pertamanya terbit. Apa yang dilakukan Dee kecil waktu itu. Ia sudah membiasakan diri dengan menulis. Ia melakukannya pada sebuah buku tulis bersampul foto artis Dian Pisesha dengan pulpen bermerek Le Pen bertinta biru. Dalam buku itu dihasilkan sebuah cerita berjudu’ Rumahku Indah Sekali”. Menapak usia SMP, mulai rajin menulis buku harian sampai bertumpuk-tumpuk. Sampai disini, tesis Hernowo sang mentor kepenulisan itu benar bahwa efek menulis catatan harian memang dasyat bagi karir kepenulisan kelak.
Mengenai kebiasaan sewaktu kecil, Dee juga memperlihatkan tanda-tanda “aneh” yang sering dimiliki para pengarang hebat pada umumnya. Pengamat yang detail. Sewaktu kecil, ia suka kelereng. Bukan untuk dimainkan, tapi diamati. Ia menghabiskan waktu yang panjang hanya untuk mengamati sebola kelereng di terang lampu. Serasa ada galaksi ajaib di dalam bola itu. Kilau yang dipantulkan kaca dalam kelereng seolah membentuk labirin dan bintang-bintang, dan Dee terlongo-longo dipukau keindahannya. Dia juga kecanduan mengamati langit. Mencari bentuk dan wajah di awan, menghayati warna-warni senja sampai dada sesak oleh haru. Sebuah kebiasaan yang terus berlanjut hingga dewasa: mengamati angkasa hingga menunggu ia “berbicara”.
Itulah pengalaman personal Dee. Saya kira, kebiasaan swaktu kecilnya itu berpengaruh terhadap karya-karyanya. Kedetailan. Ia mencoba menggambarkan tokoh dan suasana secara detail. Harapannya mungkin berusaha menampakkan sesuatu secara kuat. Baik latar maupun tokoh-tokohnya. Dalam sebuah proses kreatif penulisan novel, saya kira usaha semacam ini perlu. Apa jadinya kalau pembaca tak berkesan sama sekali pada penggambaran suasana, maupun tak terkesan sama sekali dengan tokoh yang dimunculkan. Tentu, novel itu akan terasa hambar.
Selanjutnya adalah kedisiplinan...
Dalam sebuah wawancara di Majalah Kampus Uhamka Ia memberikan penjelasan seputar itu. Meluangkan waktu khusus untuk menulis tanpa diganggu itu sangat perlu. Kalau bisa ada disiplin yang jadi tolok ukur, bisa dari durasi waktu bekerja atau banyaknya halaman per hari. Dee juga mengatakan, sediakan Kamus Besar Bahasa. Begitu resepnya.
Saya yakin apa yang dikatakan Dee itu bukan omong kosong belaka. Misalnya untuk mendisiplinkan diri menulis, khusus meluangkan waktu menulis, ia rela untuk kost. Ia memilih yang dekat dengan lingkungan mahasiswa karena proyek kepenulisannya berkaitan dengan pergaulan mahasiswa. Hasilnya, 55 hari Ia selesai menulis novel terbarunya yang berjudul “Perahu Kertas” terbitan Bentang Pustaka. Kisah yang bercerita tentang proses pertemuan dua manusia, Keenan dan Kugy. Yang satu penulis, yang satu lagi pelukis. Saya suka novel ini. Dasyat. Omong-omong, kau sudah membacanya?
:yons achmad*
Pernah membaca karya Dewi “Dee” Lestari? Saya membaca beberapa karyanya. Dan saya merasakan memang ada pesona tersendiri. Dee selalu menawarkan sisi lain dari sebuah dunia, dia kemas dalam karya sastra yang saya kira cukup elok. Tak heran karya-karya sastranya digemari banyak orang, bukunya meledak menjadi best seller.
Saya penasaran apa sebenernya rahasianya? Lalu saya melakukan riset kecil-kecilan mendalami proses kreatif kepenulisan Dee. Membaca karya-karyanya, menekuni note (catatan-catatan) lewat blog atau situs jejaring sosialnya, maupun hasil wawancaranya di berbagai media. Dan, memang sosok Dee dan karyanya menarik untuk diketahui publik. Terutama tentu bagi mereka yang ingin berkecimpung dalam dunia kepengarangan. Atau setidaknya sebagai pembelajaran dan pencerahan seputar proses kreatif kepenulisan.
Satu pembelajaran terbesar adalah kesabaran...
Saya menangkap rahasia itu. Cita-cita Dee untuk bisa menulis buku ketika Ia berusia 9 tahun. Ingin tahu berapa lama cita-cita itu tercapai? Sangat panjang, perlu waktu 16 tahun sampai buku pertamanya terbit. Apa yang dilakukan Dee kecil waktu itu. Ia sudah membiasakan diri dengan menulis. Ia melakukannya pada sebuah buku tulis bersampul foto artis Dian Pisesha dengan pulpen bermerek Le Pen bertinta biru. Dalam buku itu dihasilkan sebuah cerita berjudu’ Rumahku Indah Sekali”. Menapak usia SMP, mulai rajin menulis buku harian sampai bertumpuk-tumpuk. Sampai disini, tesis Hernowo sang mentor kepenulisan itu benar bahwa efek menulis catatan harian memang dasyat bagi karir kepenulisan kelak.
Mengenai kebiasaan sewaktu kecil, Dee juga memperlihatkan tanda-tanda “aneh” yang sering dimiliki para pengarang hebat pada umumnya. Pengamat yang detail. Sewaktu kecil, ia suka kelereng. Bukan untuk dimainkan, tapi diamati. Ia menghabiskan waktu yang panjang hanya untuk mengamati sebola kelereng di terang lampu. Serasa ada galaksi ajaib di dalam bola itu. Kilau yang dipantulkan kaca dalam kelereng seolah membentuk labirin dan bintang-bintang, dan Dee terlongo-longo dipukau keindahannya. Dia juga kecanduan mengamati langit. Mencari bentuk dan wajah di awan, menghayati warna-warni senja sampai dada sesak oleh haru. Sebuah kebiasaan yang terus berlanjut hingga dewasa: mengamati angkasa hingga menunggu ia “berbicara”.
Itulah pengalaman personal Dee. Saya kira, kebiasaan swaktu kecilnya itu berpengaruh terhadap karya-karyanya. Kedetailan. Ia mencoba menggambarkan tokoh dan suasana secara detail. Harapannya mungkin berusaha menampakkan sesuatu secara kuat. Baik latar maupun tokoh-tokohnya. Dalam sebuah proses kreatif penulisan novel, saya kira usaha semacam ini perlu. Apa jadinya kalau pembaca tak berkesan sama sekali pada penggambaran suasana, maupun tak terkesan sama sekali dengan tokoh yang dimunculkan. Tentu, novel itu akan terasa hambar.
Selanjutnya adalah kedisiplinan...
Dalam sebuah wawancara di Majalah Kampus Uhamka Ia memberikan penjelasan seputar itu. Meluangkan waktu khusus untuk menulis tanpa diganggu itu sangat perlu. Kalau bisa ada disiplin yang jadi tolok ukur, bisa dari durasi waktu bekerja atau banyaknya halaman per hari. Dee juga mengatakan, sediakan Kamus Besar Bahasa. Begitu resepnya.
Saya yakin apa yang dikatakan Dee itu bukan omong kosong belaka. Misalnya untuk mendisiplinkan diri menulis, khusus meluangkan waktu menulis, ia rela untuk kost. Ia memilih yang dekat dengan lingkungan mahasiswa karena proyek kepenulisannya berkaitan dengan pergaulan mahasiswa. Hasilnya, 55 hari Ia selesai menulis novel terbarunya yang berjudul “Perahu Kertas” terbitan Bentang Pustaka. Kisah yang bercerita tentang proses pertemuan dua manusia, Keenan dan Kugy. Yang satu penulis, yang satu lagi pelukis. Saya suka novel ini. Dasyat. Omong-omong, kau sudah membacanya?
3 Responses to "Dewi “Dee” Lestari Buka-Bukaan !!!"
Sudah. Saya sudah baca Perahu Kertas. Memang novel yang dashyat :)
Sayang terlalu surealisme. Uh.
Beruntung saia hidup di generasi yang sama dengan Dee. Salut untuknya.
And you know what? sebenarnya kalau kita menelisik tulisan-tulisan di blognya pun kita bisa melihat bagaimana kabar faktual hidupnya diinfokan secara tersirat (kasus pisahnya dengan Marcel misalnya).
Nice info gan *lempar cendol*
luar biasa,saya melihat sesuatu yg luar biasa
Posting Komentar