Kucing Berhaji
: yon’s revolta
"Yang tidak berada bersama Tuhan di Mekah,
bagaikan berkunjung ke rumah tak berpenghuni,
dan yang tak berkunjung ke rumah Tuhan
tetapi merasakan kehadiran-Nya maka
Tuhan telah mengunjungi rumahnya”
(Pepatah Sufi)
Saya pernah membaca dongeng tentang seekor kucing yang berhaji. Tentu, yang namanya dongeng itu kadang tidak masuk akal. Tapi, sepertinya perlu saya ceritakan disini karena yang terpenting adalah pesan moral yang diusungnya. Dengan mengangkat kembali cerita fabel ini, alangkah indahnya ketika bisa membuat hati kita bercermin. Bagi mereka yang sudah bisa melaksanakan ibadah haji, atau bagi saya dan siapapun yang belum berkesempatan menunaikannya agar kelak haji kita menjadi lebih bermakna. Bagi diri, Tuhan dan sesama.
Inti cerita versi saya begini...
Alkisah, ada seekor kucing dewasa yang sudah berkecukupan. Ia hendak menunaikan ibadah haji karena merasa ada sebuah kewajiban dan tentu untuk menyambut seruan Tuhan. Berangkatlah Ia dengan semangat ketertundukan. Setelah menunaikan segala macam rukunnya, pulanglahlah ke tempat tinggal semula. Setelahnya, lebih banyak berzikir, tak lupa “mengenakan” asesoris layaknya para pelaku haji. Dan, diluaran tampilan mendadak sholeh.
Berhajinya seekor kucing itu terdengar sampai berbagai penjuru. Termasuk sampai terdengar pada sarang segerombolan tikus. Pemimpin tikus, sebagai yang dituakan berinisiatif untuk berekonsiliasi dengan sang kucing.
“Wahai rakyat tikus semuanya, dengarlah, sang kucing telah berhaji, sudah saatnya kita berdamai dengannya”. Salah satu rakyat tikus menjawab “Tuanku, jangan, kucing tetap kucing, dia tetap akan memburu kita”. “Apa salahnya kita mencoba menjalin komunikasi, siapa tahu ada peta jalan damai antara warga tikus dan kucing”. Walaupun rakyat tikus amat gelisah dengan pendapat pemimpin tikus, tapi tetap memutuskan untuk berangkat menemui sang kucing.
Berangkatlah ia dengan hati-berdebar-debar...
Sesampainya di sarang kucing, pemimpin tikus mencoba tersenyum dan menyampaikan niat baiknya untuk berdamai. Awalnya, sang kucing diam saja. Semakin lama didiamkan pemimpin tikus mulai gelisah. Lalu, sang kucing memandangi sang tikus dengan tatapan beringas, lantas....melompat, mencoba menerkam dan memangsa tikus. Untung, sang tikus sudah siap sedia dan berhasil meloloskan diri dari terkaman sang kucing. Berlari dan terus berlari meninggalkannya. Sampai di sarang tikus, rakyat yang sejak awal khwatir bertanya “Bagaimana tuanku, apakah perdamaian berhasil..?. “Celaka, benar katamu, sang kucing tetap kucing, dia tetap akan memangsa kita”.
***
Teman...kisah ini adalah sindiran bagi kita semuanya. Haji bagi umat Islam memang sebuah kewajiban untuk yang mampu. Kita pasti mempunyai niat untuk menunaikannya, alangkah bahagianya kita bisa pergi ke tanah suci. Tapi, ada dimensi lain yang patut kita ingat. Haji bukanlah sebuah trend atau bahkan sebuah gaya hidup agar dipandang “wah”. Juga bukan melulu berdimensi ke-Tuhanan semata.
Ada dimensi lain yang perlu kita amalkan. Yaitu dimensi sosial dengan menterjemahkan simbol-simbol haji yang telah dilaksanakan. Salah satunya seperti dituturkan Ustadz Quraish Shihab, "Pakaian biasa" ditanggalkan dan "pakaian ihram" dikenakan. Artinya, berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan.
Dengan berhaji kita belajar menghargai sesama manusia, tidak melakukan lagi penghisapan atau penindasan terhadap manusia lain. Kita semua hakikatnya sama, miskin kaya, pejabat tinggi atau rakyat biasa. Dan, kita juga perlu meninggalkan kharakter-kharakter jahat yang barangkali sudah melekat erat dalam diri sekian lamanya. Kalau setelah berhaji tetap punya kharakter dan perilaku sama, (Tidak peduli sesama, bahkan suka “memangsa”) maka sia-sialah semuanya. Ah, semoga kita bisa menunaikan ibadah haji dengan memahami esensi didalamnya dan terhindar dari gelar “kucing berhaji”.
: yon’s revolta
"Yang tidak berada bersama Tuhan di Mekah,
bagaikan berkunjung ke rumah tak berpenghuni,
dan yang tak berkunjung ke rumah Tuhan
tetapi merasakan kehadiran-Nya maka
Tuhan telah mengunjungi rumahnya”
(Pepatah Sufi)
Saya pernah membaca dongeng tentang seekor kucing yang berhaji. Tentu, yang namanya dongeng itu kadang tidak masuk akal. Tapi, sepertinya perlu saya ceritakan disini karena yang terpenting adalah pesan moral yang diusungnya. Dengan mengangkat kembali cerita fabel ini, alangkah indahnya ketika bisa membuat hati kita bercermin. Bagi mereka yang sudah bisa melaksanakan ibadah haji, atau bagi saya dan siapapun yang belum berkesempatan menunaikannya agar kelak haji kita menjadi lebih bermakna. Bagi diri, Tuhan dan sesama.
Inti cerita versi saya begini...
Alkisah, ada seekor kucing dewasa yang sudah berkecukupan. Ia hendak menunaikan ibadah haji karena merasa ada sebuah kewajiban dan tentu untuk menyambut seruan Tuhan. Berangkatlah Ia dengan semangat ketertundukan. Setelah menunaikan segala macam rukunnya, pulanglahlah ke tempat tinggal semula. Setelahnya, lebih banyak berzikir, tak lupa “mengenakan” asesoris layaknya para pelaku haji. Dan, diluaran tampilan mendadak sholeh.
Berhajinya seekor kucing itu terdengar sampai berbagai penjuru. Termasuk sampai terdengar pada sarang segerombolan tikus. Pemimpin tikus, sebagai yang dituakan berinisiatif untuk berekonsiliasi dengan sang kucing.
“Wahai rakyat tikus semuanya, dengarlah, sang kucing telah berhaji, sudah saatnya kita berdamai dengannya”. Salah satu rakyat tikus menjawab “Tuanku, jangan, kucing tetap kucing, dia tetap akan memburu kita”. “Apa salahnya kita mencoba menjalin komunikasi, siapa tahu ada peta jalan damai antara warga tikus dan kucing”. Walaupun rakyat tikus amat gelisah dengan pendapat pemimpin tikus, tapi tetap memutuskan untuk berangkat menemui sang kucing.
Berangkatlah ia dengan hati-berdebar-debar...
Sesampainya di sarang kucing, pemimpin tikus mencoba tersenyum dan menyampaikan niat baiknya untuk berdamai. Awalnya, sang kucing diam saja. Semakin lama didiamkan pemimpin tikus mulai gelisah. Lalu, sang kucing memandangi sang tikus dengan tatapan beringas, lantas....melompat, mencoba menerkam dan memangsa tikus. Untung, sang tikus sudah siap sedia dan berhasil meloloskan diri dari terkaman sang kucing. Berlari dan terus berlari meninggalkannya. Sampai di sarang tikus, rakyat yang sejak awal khwatir bertanya “Bagaimana tuanku, apakah perdamaian berhasil..?. “Celaka, benar katamu, sang kucing tetap kucing, dia tetap akan memangsa kita”.
***
Teman...kisah ini adalah sindiran bagi kita semuanya. Haji bagi umat Islam memang sebuah kewajiban untuk yang mampu. Kita pasti mempunyai niat untuk menunaikannya, alangkah bahagianya kita bisa pergi ke tanah suci. Tapi, ada dimensi lain yang patut kita ingat. Haji bukanlah sebuah trend atau bahkan sebuah gaya hidup agar dipandang “wah”. Juga bukan melulu berdimensi ke-Tuhanan semata.
Ada dimensi lain yang perlu kita amalkan. Yaitu dimensi sosial dengan menterjemahkan simbol-simbol haji yang telah dilaksanakan. Salah satunya seperti dituturkan Ustadz Quraish Shihab, "Pakaian biasa" ditanggalkan dan "pakaian ihram" dikenakan. Artinya, berarti menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan.
Dengan berhaji kita belajar menghargai sesama manusia, tidak melakukan lagi penghisapan atau penindasan terhadap manusia lain. Kita semua hakikatnya sama, miskin kaya, pejabat tinggi atau rakyat biasa. Dan, kita juga perlu meninggalkan kharakter-kharakter jahat yang barangkali sudah melekat erat dalam diri sekian lamanya. Kalau setelah berhaji tetap punya kharakter dan perilaku sama, (Tidak peduli sesama, bahkan suka “memangsa”) maka sia-sialah semuanya. Ah, semoga kita bisa menunaikan ibadah haji dengan memahami esensi didalamnya dan terhindar dari gelar “kucing berhaji”.
2 Responses to "Kucing Berhaji"
setujuh...berhajilah agar menggapai haji yg mabrur..bukan titel pak/bu haji
mau haji 10 kali,klo dia mampu mnrtku ga masalah..!!!!
mau berburu titel haji juga ga masalah..!!!
orangkan beda2 bos..!!!!
klo kyk kamu semua...bhuwaaaaaaaaaaaa....hehhehe
pisss...
Eh,tahun baru kemana.>???
met tahun baru ya..???
Posting Komentar