Biksu Tak Bisu
Oleh
Yon’s Revolta
Tak hanya mengiringi aksinya, juga turut membantu menyediakan makan dan minum ala kadarnya untuk para biksu itu. Mereka, para biksu itu memang tak bisu. Mereka sedang melawan dengan caranya sendiri. Melawan atas kesewenang-wenangan dan kebijakan tak berpihak penguasa militer kepada rakyat. Ya, semena-mena menaikkan harga minyak sebesar 500 persen.
Rupanya, penguasa militer pun tergagap. Tak menyangka akan ada aksi itu. Sehari sesudahnya, tak ada reaksi apapun dari penguasa. Entahlah, kemungkinan besar para penguasa militer juga kebingungan menghadapi aksi itu. Aksi simpatik dan seruan moral para biksu yang tak biasa dilakukan. Baru kemudian ada statemen politik penguasa yang terkesan mencari-cari alasan. Ironis, disampaikan oleh seorang menteri agamanya.
Menteri Agama Myanmar Brigadir Jenderal Thura Myint Maung melalui pernyataan di radio pemerintah mengungkapkan, tindakan tegas akan diambil terhadap para biksu jika aksi turun ke jalan tak segera dihentikan. "Tindakan mereka menghentikan pengajaran Buddha jelas-jelas melanggar hukum," tegasnya. Begitu, kata sebuah koran yang saya baca pagi ini. Padahal, ajaran Buddha itu juga yang menggerakkan aksi.
Saya memang tak tahu kejadian sebenarnya. Urusan negara tentu banyak faktor politik yang mendasarinya. Saya bukan pengamat politik. Hanya, seorang warga biasa yang mencoba menarik benang merah atas sebuah kejadian, sebuah peristiwa, sekecil apapun. Selanjutnya, menjadi pembelajaran kita bersama.
Yang terbesit dalam benak, betapa ketulusan itu sangat besar pengaruhnya. Ya, apa yang dilakukan para biksu di
Bagaimana dengan kaum agamawan kita…?
Malu sebenarnya kita. Dulu, kita juga mengalami kenaikan harga bahan bakar minyak yang luar biasa. Namun, seperti dulu kita saksikan, ada seorang yang dikenal sebagai “dai” populer, justru mengamini penguasa dan berkedok agama untuk bersabar saja atas kenaikan harga itu. Setelah dihujat sana-sana oleh sebagian besar masyarakat, baru kemudian minta maaf dan menyadari kekhilafannya. Tak semua memang kaum agamawan kita seperti itu. Jelas, tak sedikit yang baik. Walau saya kesulitan menyebutkannya.
Saya jadi ingat sebuah buku karya kawan asal Jogja, Eko Prasetyo, judulnya “Astaghfirullah, Islam Jangan di Jual”. Memang, buku ini khusus menyoroti kaum agamawan muslim. Buku ini lahir diantaranya karena sang penulis tak habis pikir seorang ustadz jadi bintang iklan, Pakaian necis dan hidup mewah, training agama sebagai bisnis dengan biaya tinggi. Bahkan, memasang tarif selangit untuk sekedar ceramah singkat beberapa jam saja. Tak ada uang, tak jalan.
Akankah mereka peka dengan kesulitan hidup masyarakat.
Atau, ketika mereka berkata “Lawan penguasa dholim, akankah didengarkan..?”
Entahlah…
Purwokerto, 26 September 2007.
0 Response to "Biksu Tak Bisu"
Posting Komentar