Gizi Sebuah Buku

Gizi Sebuah Buku
Oleh
Yon’s Revolta

Universitas sejati hari ini
Adalah sekumpulan buku

(Thomas Carlyle)

Buku apa yang paling menarik menurutmu…?

Jawaban tentu beragam. Setiap orang punya ketertarikan yang berbeda-beda. Satu hal yang pasti, sungguh beruntung mereka yang mencintai buku. Setidaknya, ada potensi dalam dirinya untuk mencintai ilmu pengetahuan, haus akan wawasan. Melalui sebuah buku, kita bisa menyusuri lorong-lorong yang masih gelap, remang-remang bahkan absurd, untuk kemudian menemukan cahaya, menemukan pencerahan atas persoalan dan pengetahuan yang baru. Pada akhirnya, bisa mendatangkan pandangan dan sikap yang berbeda dalam memaknai dunia dalam kehidupan kesehariannya. Tentu saja, hal ini bisa didapatkan ketika mereka bisa merengguk gizi sebuah buku yang dilahapnya.

Ibarat makanan, gizinya adalah sari pati yang dibutuhkan raga kita. Sedang buku adalah makanan rohani, gizinya bisa kita rengguk untuk jiwa dan pikiran kita. Persoalan kemudian adalah, seberapa besar akses dan kesempatan gizi buku bisa kita dapatkan. Hal ini memang terkait dengan keterbatasan kita pada umumnya. Memang, buku masih belum menjadi priorotas yang umum bagi masyarakat. Kita masih berkutat dan bersibuk diri dengan urusan perut, urusan bagaimana hari-hari berlalu tanpa ada rasa lapar. Kondisi memang demikian adanya. Untuk itu, mau tak mau, strategi perlu diadakan.


Prinsipnya, bukan seberapa banyak buku yang kita miliki.
Tapi, sejauhmana kita telah membacanya.

Saya sendiri kadang melupakan hal itu. Kadang, kalau ada sedikit rizki selalu silau untuk membeli buku-buku baru. Padahal, buku yang dipunyai belum sempat dibaca. Ketika ada buku baru, tergoda untuk membacanya. Jadinya, apa yang dibaca dan kemudian dipahami hanya setengah-setengah. Bahkan, hanya sedikit gizi yang bisa didapatkan karena cuman sepotong-potong saja membacanya. Apalagi, kadang tak bisa juga memainkan seni membaca. Layaknya sebuah seni, semua orang juga punya pengalaman berbeda beda. Bagi saya, seni membaca itu sesuai dengan kebutuhan dan kadar kehauasan kita, untuk selanjutnya gizinya kita serap (kalau perlu ditulis dalam buku khusus agar tidak lupa). Kemudian (ini yang terpenting), kita mau berbagi atas kandungan gizi buku-buku yang telah kita baca tersebut. Singkatnya begitu.

Sekarang, bagaimana manajemen untuk mendapatkan gizi sebuah buku. Jawabnya adalah skala prioritas. Saya jadi ingat pesan Helvy Tiana Rosa (Pendiri Forum Lingkar Pena), setidaknya bagi para pecinta buku, apalagi seorang penulis, dalam sebulan minimal tiga jenis buku yang harus dibaca. Diantaranya, buku yang sesuai dengan latarbelakang pendidikannya (misalnya buku kuliah), buku tentang minat yang digelutinya (semua berbeda-beda), kemudian buku tentang KeIslaman (bagi yang muslim). Itulah tiga jenis buku yang minimal mesti kita baca agar ada kesimbangan dalam pemenuhan gizi untuk jiwa kita.

Lalu, bagaimana buku bisa dikategorikan bergizi tinggi..?. Diskusi bisa panjang untuk memperdebatkannya. Bagi saya, buku yang bergizi tinggi adalah buku yang mempunyai wawasan baru, ide-ide baru bagi gerak kemajuan. Buku yang memberikan inspirasi, menyejukkan jiwa dan membantu pembaca memahami persoalan dunia yang pelik. Buku yang mengalir dan menggerakan seseorang untuk progresif melangkah kedepan. Bentuknya bisa bermacam-macam, berwujud buku teks, esei atau karya ilmiah populer, bahkan karya sastra (puisi, cerpen, novel).

Kini, kita bisa merenung sejenak. Sejauhmana kita telah menyerap gizi yang ada dalam sebuah buku. Sudahkah kita merasakan kasiatnya, kemudian sejauhmana kita telah berbagi atas buku bergizi yang telah kita baca. Sayang kan, kalau kita membaca buku “hanya” untuk diri kita semata. Alangkah mulianya berbagi pengalaman dan cerita atas buku yang kita baca karena tak semua orang bisa punya akses membacanya. Bukan begitu..? (yr)

==

rumah kelana, 9 juli 2007

0 Response to "Gizi Sebuah Buku"