Tarbiyah Jangan Lelah
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Oleh: Yons Achmad
(Kolumnis, tinggal di Depok)
Tarbiyah. Bagi anak UIN, mungkin biasa saja kedengarannya. “Sekadar” nama jurusan atau fakultas di kampusnya. Tapi, tidak bagi mereka yang pernah kuliah di kampus-kampus umum. Tarbiyah tak sekadar kata. Tapi ia adalah sebuah cerita. Yang, tentu juga menyimpan kenangan. Beruntung mereka yang sampai kini tetap istiqomah di jalan Tarbiyah.
Layaknya hidup dalam sebuah komunitas. Suka, duka, kekecewaan pasti ada. Jangankan yang kader bawah. Bahkan petingginya pun juga banyak yang kecewa dan memilih berhenti berkiprah. Ada yang berhenti sama sekali, ada yang kemudian kembali. Bolak-balik, keluar masuk menjadi pemandangan yang tak terelakkan.
Saya menulis kolom ini setelah kemarin ada kumpul keluarga. Doi komentar, “Alhamdulillah di keluarga besar ada 2 keluarga yang masih terTarbiyah”. Saya hanya tersenyum kecil mendengar komentar itu. Mungkin, baginya hanya komentar spontan saja. Tapi, saya yakin, dalam hatinya tersimpan banyak harapan. Tentang sebuah warna kehidupan, yang berbeda dengan orang kebanyakan. Bukan soal apa-apa. Hanya soal cara pandang dan laku keseharian. Yang kemudian, menjadi tradisi yang sudah seperti gaya hidup.
Memang, barangkali hanya sebuah kesederhanaan. Dalam satu episode hariaannya. Misalnya, dalam sebuah keluarga. Sebelum subuh, shalat tahajud dikerjakan walau dua rakaat saja, dilanjut shalat dua rakaat yang pahalanya lebih baik dari dunia seisinya. Sang ayah bangunkan anak, ajak jamaah subuh di masjid. Klar. Lanjut dengan tilawah kecil.
Tiba sang ayah bekerja. Sang bunda menjaga anak-anak mereka. Belajar di rumah (home schooling) atau mengantar mereka di sekolah-sekolah terpadu. Sampai senja tiba, Taman Pendidikan Alquran (TPA) menjadi tempat yang nyaman bagi ruang sosialisasi anak plus belajar agama. Selepas maghrib, kembali berkumpul, makan bersama plus hafalan quran. Sungguh, sebuah momentum kenyamanan yang tak tergantikan. Sementara kajian rutin mingguan tetap jalan. Sabtu, Minggu biarlah menjadi ajang bebas. Taklim, baksos atau sekadar liburan ke taman-taman yang tak banyak biaya.
Dalam dekapan Tarbiah, memang kadang lelah. Bukan karena beban kehidupan yang teramat berat. Namun, tersebab kekecewaan yang terlampau besar. Karena para teladan yang tak lagi bisa dijadikan contoh karena perilaku buruknya, karena sesama yang berkonflik dan ribut sendiri, saling sindir, saling (maaf) caci, bahkan saling pecat. Apa boleh buat, itu fakta, pemandangan yang tampak di depan mata.
Tapi. “Tarbiyah jangan lelah”, katanya. Baiklah, saya juga dulu banyak memendam kecewa. Untungnya ada “teman” yang menguatkan. Sebagai rasa terimakasih, saya rela mengantarkan dirinya ber”Sosialita” di acara rutin pekanan. Kami sadar, bukan siapa-siapa. Semacam jumput ilalang di padang yang tandus. Tapi, kami akan tetap berusaha tumbuh. Memberi warna, barangkali bukan di rumah besar bernama Indonesia. Tapi, di gang-gang kecil sepanjang tempat tinggal, atau di surau-surau sempit. Asalkan terus bisa berkiprah dalam Tarbiyah. “Kok jadi mellow, ha ha”, katanya. Biarin. []
0 Response to "Tarbiyah Jangan Lelah"
Posting Komentar